Ujian Nasional : Sebuah Sikap dan Solusi

UJIAN NASIONAL : SEBUAH SIKAP DAN SOLUSI

Sudah lama sekali sepertinya sejak terakhir gua nulis sesuatu yang berhubungan erat dengan kondisi negara Indonesia tercinta ini, Indonesia.. Bukan karena gua mulai acuh tak acuh dengan segala sesuatu yang terjadi di dalamnya, tetapi lebih karena gua sendiri mulai enggak tahu harus mulai nulis dari mana.. Dari semua masalah yang menyeruak ke sana sini, dari yang berhubungan dengan jas para penguasa atau perut rakyat akar rumput, semuanya penuh ketidakpastian, seolah tanpa penyelesaian, penuh kerekayasaan, penuh dengan kemunafikan politik di segala lini, dan yang pasti terlalu rumit untuk diurai kembali. Hasilnya, gua jadi jarang nulis tentang segala hal ini.. ^^.. Tapi ada satu hal yang menarik hati untuk disikapi, dicermati, dan diberikan solusi.. Yakni soal pelaksanaan Ujian Nasional (UN).

Adakah di antara kita, khususnya pembaca blog ini, yang belum pernah mengalami UN itu sendiri? Walaupun dulu namanya berbeda : Ujian negara, EBTANAS, dll, namun atmosfer ketegangan dan ketakutannya sama kentaranya, setiap tahunnya.. Ujian nasional sendiri ditetapkan oleh pemerintah untuk dijadikan sebagai standar kelulusan yang menentukan apakah siswa dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya atau tidak. Gua rasa enggak perlu dijelaskan lebih jauh soal ujian nasionalnya itu sendiri, karena gua yakin kita masing-masing lebih dari tahu soal momok paling menyeramkan selama menjalani pendidikan di segala tingkat itu.. ^^

Polemik tentang Ujian Nasional sudah berlangsung sejak lama, perdebatan-perdebatan yang sepertinya tak pernah selesai, perombakan-perombakan sistem yang terjadi (hampir setiap kali ganti Mendiknas, berganti pula sistem pendidikan kita), dan akhirnya berakhir tanpa solusi yang benar-benar memberikan kontribusi berarti pada perbaikan kualitas pendidikan di negara tercinta ini. Perbedatan yang paling sering terjadi sebenarnya adalah “Perlu atau tidak sebenarnya dilaksanakan UN untuk menentukan kelulusan siswa?”.. Dan ketika pertanyaan pilihan seperti itu mengemuka, kita harus menentukan sikap dan pilihan, dan dalam hal ini, gua secara pribadi memilih TIDAK PERLU ADA UN UNTUK MENENTUKAN KELULUSAN SISWA.

Mengapa UN, menurut gua pribadi, seharusnya DIHAPUSKAN?
1. Tidak adil jika proses belajar selama enam tahun (SD) dan tiga tahun (SMP dan SMA) dan dinamika dan proses di dalamnya kemudian “dikerdilkan” dalam secarik kertas soal yang harus dikerjakan dalam kurun waktu singkat.. Bagaimana dengan aspek kelakuan baik atau keaktifan berorganisasi misalnya? Hal yang lebih menentukan keberhasilan manusia di masa yang akan datang kemudian malah tidak menjadi indikator yang ikut menentukan apakah seseorang akan lulus atau tidak.
2. Pendidikan di Indonesia belum layak dan mampu TERSTANDARISASI.. Gua malah lebih prihatin soal ini. Bagaimana mungkin pemerintah pusat dan Departemen Pendidikan Nasional di pusat yang gua sendiri ragu punya peta kualitas pendidikan di tiap daerah, kemudian dengan arogansi priayi nya membentuk sebuah tim yang berisikan orang-orang hebat untuk membuat soal-soal ujian nasional yang akan digunakan di setiap sekolah di Indonesia sebagai sebuah standar pendidikan.. Bagaimana mungkin kita mengharapkan bahwa standar pendidikan di sekolah berpendingin udara dan berkomputer dengan sekolah di pelosok yang tak beratap dan nyaris rubuh? Bagaimana mungkin sekolah di pedalaman yang gurunya datang empat kali setiap bulan harus menjawab soal-soal yang kesulitannya dibuat berdasarkan kemampuan siswa sekolah yang punya kegiatan ekstrakurikuler segudang? Seharusnya pemerintah mulai menyadari hal ini, bahwa kesenjangan pendidikan di Indonesia masih terlalu tajam untuk “dihajar” dengan sesuatu yang menurut mereka, “Terstandarisasi”.
3. Dalam psikologi, kita mengenali bahwa setiap individu sebenarnya memiliki 7 macam kecerdasan, dari matematis hingga artistik (seni) dan kinestetik (olahraga).. Mengingat bahwa sesungguhnya semua kecerdasan itu memiliki basis ilmu yang kuat untuk dipelajari, pemerintah seolah menutup mata dan lepas tangan tanpa mau mulai merubah cara pandang untuk menyesuaikan dengan perubahan zaman.. Di negara maju seperti Amerika Serikat, kecerdasan anak diluar kemampuan eksakta, seperti seni atau olahraga mendapatkan tempat dan perhatian yang besar. Mereka akan dibina menurut kecerdasan masing-masing yang menjadi kekuatan terbesarnya, dan punya kesempatan untuk mendapatkan beasiswa ke jenjang berikutnya jika memang berprestasi sesuai dengan minatnya. Sesuatu yang jarang sekali gua dengar ada di Indonesia.. Di Indonesia, orang yang berbakat nulis, melukis, menyanyi, basket, sepakbola, semuanya dihajar dengan ujian nasional yang kebanyakan bersifat eksakta. Tidak bisa menjawab ujian nasional? Anda dapat label “GAGAL”, dan kecerdasan anda yang unik tidak dianggap sama sekali, masa depan jadi runyam tanpa alasan.
4. Berita akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa soal-soal ujian nasional dibuat dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi, dengan pilihan jawaban yang hampir mirip satu sama lain (ambigu).. Jika harus dilakukan untuk menguji tingkat kemampuan siswa, ini terlalu berlebihan. Pemerintah seolah-olah bermain dengan masa depan setiap siswa di negara ini, dan melihat mereka hanya sebagai angka dan presentase di ujung ujian yang tidak diperhatikan aspek psikologis dan kebutuhannya.
5. Bahkan Pemerintah sendiri tidak pernah benar-benar siap menyelenggarakan Ujian Nasional, hingga berjalan dengan sempuna. Selalu saja terdengar soal yang tertukar, cetakan yang tidak jelas, bocoran soal dan kunci jawaban, biaya penyelenggaraan yang besar, guru yang membiarkan murid menyontek dan bekerja sama, ketidakjelasan dasar hukum dan perundang-undangnya.. Dengan begitu banyak kelemahan, yang terus terulang, kenapa terus memaksakan diri?

Melihat begitu banyak ketidakadilan dan kesalahan dalam pelaksanaan UN, gua disini secara pribadi memberikan pandangan, sebuah alternatif solusi yang gua pikir lebih adil untuk siswa-siswi yang dipaksa “menelan” UN sebagai syarat mutlak tak terbantahkan :
1. Untuk SD dan SMP, yang akan dijadikan standar kelulusan ke tingkat berikutnya adalah nilai raport, dengan mempertimbangkan aspek kelakuan baik dan keaktifan berorganisasi juga, ditentukan oleh Sekolah.
2. Untuk SMA. Pada semester pertama, siswa tingkat XII (kelas 3) akan dihadapkan pada pilihan universitas dan ujian masuknya.. Pemerintah akan menginstruksikan semua Universitas untuk mengadakan seleksi mahasiswa baru (dengan soal-soal logika terstandar dari pemerintah) ketika anak-anak SMA baru naik ke kelas 3.. Setiap siswa boleh menentukan setidaknya satu universitas pemerintah, dan tiga universitas swasta, dengan tiga kemungkinan pilihan jurusan yang akan menjadi tujuan jenjang pendidikannya yang selanjutnya. Ujian masuk masing-masing universitas akan dilakukan sebanyak 5 gelombang sepanjang tahun, calon mahasiswa yang gagal boleh mencoba kembali selama 5 gelombang tersebut. Siswa yang lulus ujian masuk universitas akan otomatis diterima apabila ia lulus dengan nilai rapor yang distandarkan sekolah.
3. Untuk siswa SMA yang tidak lulus ujian masuk universitas dan yang tidak berminat untuk masuk ke jenjang Universitas, sebuah tugas akhir sesuai minat masing-masing dan nilai raport akan menjadi standar kelulusan mereka. Jika memungkinkan, maka sekolah dapat membantu masing-masing anak untuk “menemukan” diri mereka, mungkin melalui seminar wirausaha, atau rujukan siswa berprestasi pada jenjang pendidikan selanjutnya yang bisa menampung bakat mereka (seni dan olahraga) misalnya.. Yang akan menentukan apakah mereka akan lulus atau tidak, adalah pihak sekolah sendiri.
4. Siswa yang berbakat di bidang lain selain keilmuan (seni, olahraga, musik, dll) diperbolehkan untuk mendaftar di institusi lain selain Universitas untuk menyalurkan bakat dan minat masing-masing.. Keberhasilan masuk ke institusi tersebut akan dinilai sama dengan kelulusan pada siswa yang masuk ke Universitas.. Institusi seni, musik, olahraga dan bakat lainnya ini adalah institusi yang sudah mendapatkan label pemerintah sebagai tempat rujukan, telah diaudit dan diyakini kredibilitasnya.
5. Untuk siswa SD – SMP – SMA yang tidak diluluskan oleh sekolah, entah karena nilai raport nya tidak mencukupi atau tugas akhirnya buruk, sekolah WAJIB memberikan kesempatan untuk memperbaiki nilai bagi siswa.. Dan jika masih dinyatakan tidak lulus juga, siswa terpaksa harus mengulangi tahun pendidikan yang sama 1 tahun lagi..
6. Pemerintah menyediakan sarana dan prasarana bagi siswa dah walinya untuk melakukan gugatan hukum apabila tidak puas dengan hasil lulus-tidak lulus yang dikeluarkan oleh sekolah, tentu saja dengan disertai bukti-bukti yang kuat..

Dan menurut gua pribadi, semua solusi yang gua pikirkan akan jauh lebih baik daripada sekedar memaksakan UN dan menjadikannya sebagai satu-satunya indikator kelulusan siswa.. Sangat tidak berkeprimanusiaan sebenarnya, karena pada akhirnya siswa-siswa menjadi hanya sederetan angka dan presentase saja, dianggap bukan orang.

UN boleh dijadikan sebagai evaluasi mutu pendidikan, tetapi tidak standar kelulusan.. SAY NO TO UJIAN NASIONAL!!

Bagaimana dengan pendapat ANDA? ^^

Posted with WordPress for BlackBerry.


About this entry